Senin, 06 Januari 2014
contoh proposal akuntansi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan
negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mewujudkan masyarakat adil,
makmur, merata material dan spiritual, yang dapat diwujudkan melalui
pembangunan nasional secara bertahap, terencana, dan berkelanjutan. Untuk
melaksanakan pembangunan dan menjalankan roda pemerintahan tentunya dibutuhkan
dana yang sangat besar, dana tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Namun
sumber penerimaan diusahakan tetap bertumpu pada penerimaan dalam negeri dan
penerimaan dari sumber-sumber luar negeri hanya sebagai pelengkap. Salah satu
penerimaan dalam negeri yang menjadi sumber dana utama dan sangat potensial
dalam membiayai pembangunan nasional berasal dari sektor perpajakan.
Dalam
Data Pokok APBN 2006-2012, Kementerian Keuangan RI tahun 2012 merencanakan
penerimaan negara dari sektor pajak sekitar Rp.1.019.332.400.000.000,- dari
total rencana penerimaan negara sebesar Rp.1.292.052.600.000.000,- atau sekitar
78,8% dari penerimaan negara secara keseluruhan (www.anggaran.depkeu.go.id).
Melihat hal tersebut maka pajak merupakan sektor yang sangat vital dalam rangka
mensukseskan pembangunan. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan perlu ditingkatkan dengan cara mendorong kesadaran,
pemahaman, dan penghayatan bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara
dan pembangunan nasional.
Dalam
usaha peningkatan penerimaan di sektor pajak, pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Perpajakan terus melaksanakan terobosan guna mengoptimalkan penerimaan
di sektor ini melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Salah satu langkah
yang diambil oleh Direktorat Jenderal Perpajakan ialah melakukan reformasi
dibidang perpajakan (tax reform), dimana dalam reformasi perpajakan tahun 1983,
sistem pemungutan pajak telah mengalami perubahan yang cukup signifikan yaitu
perubahan dari official assessment system menjadi self assessment system. Dalam
self assessment system, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan
sendiri kewajiban pajaknya, sehingga melalui sistem administrasi perpajakan ini
diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah
dipahami oleh masyarakat. Sistem ini menaruh kepercayaan penuh kepada Wajib
Pajak untuk menjalankan kewajiban-kewajiban perpajakannya. Hal tersebut tentu
meletakkan tanggung jawab yang lebih besar kepada Wajib Pajak untuk
melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu,
pemerintah terus memberikan pengertian kepada masyarakat tentang betapa
pentingnya kesadaran dan pemahaman mengenai pajak bagi kelangsungan pembangunan
\nasional dan pembiayaan negara. Apabila
masyarakat mengerti tentang manfaat dan fungsi dari pajak maka tentu masyarakat
sadar akan pajak (tax counciouness) dan tidak akan lagi dijumpai Wajib Pajak
yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya. Akan tetapi dalam
kenyataannya, terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja melakukan kecurangan-kecurangan dan
melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan
pembayaran pajak yang telah ditetapkan sehingga menyebabkan timbulnya tunggakan
pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah perkembangan tunggakan pajak yang
terjadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara sebagai berikut :
Tabel 1.1
Perkembangan Tunggakan Pajak Tahun 2009-2011
TAHUN
|
JUMLAH TUNGGAKAN PAJAK
|
2009
|
39,186,253,000
|
2010
|
39,712,185,000
|
2011
|
40,499,029,000
|
Sumber:
Seksi Penagihan KPP Pratama Makassar Utara
Dari
tabel diatas memperlihatkan adanya fenomena peningkatan jumlah tunggakan pajak yang
terjadi pada tahun 2009 sampai 2011 pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar
Utara. Dimana pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar Rp 525.932.000 atau
sekitar 1,32 % dan selanjutnya pada tahun 2011 juga terjadi peningkatan jumlah
tunggakan pajak sebesar Rp 786.844.000
atau 1,94 %. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan tindakan penagihan
yang mempunyai kekuatan hukum memaksa. Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan
agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
cara menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita
(Suandy, 2008:173). Tindakan tersebut berupa penagihan pajak pasif melalui himbauan dengan menggunakan surat tagihan atau
surat ketetapan pajak. Dan selanjutnya berupa penagihan pajak aktif yang
meliputi penerbitan surat teguran, pemberitahuan surat paksa, melaksanakan
penyitaan, serta menjual barang yang telah disita berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang. Nomor 19
tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-undang
penagihan pajak ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan
serta dapat mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya guna mengurangi tunggakan pajak yang terjadi.
Dengan demikian diharapkan penerimaan negara dari sektor pajak dapat lebih
optimal. Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
ke dalam penelitian yang berjudul :
“ Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran Dan
Surat Paksa
Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama
Makassar Utara “
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
Apakah surat teguran dan surat paksa mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pencairan tunggakan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar
Utara ?
C.
Batasan
Penelitian
Dalam
penelitian ini menggunakan data variabel mulai tahun 2009 sampai dengan tahun
2011 dan penelitian ini dibatasi hanya pada satu Kantor Pelayanan Pajak yaitu
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara.
D.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penagihan pajak
dengan surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara.
E.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.
Bagi
peneliti
Memberi
pengalaman belajar yang dapat mengembangkan pengetahuan terutama dalam bidang
yang diteliti.
b. Bagi peneliti lain
Penelitian
ini dapat dijadikan bahan perbandingan dari penelitian yang telah ada serta
dapat menambah kepustakaan yang diperlukan untuk penelitian yang serupa, yang
memiliki topik yang sama sehingga dapat dijadikan sebagai bahan referensi.
c.
Bagi
aparat pajak
Dapat
dijadikan masukan dalam upaya peningkatan kebijakan penagihan pajak sehingga
jumlah tunggakan pajak tidak cenderung meningkat.
F.
Sistematika
Penulisan
Untuk
memperoleh gambaran yang sistematis mengenai penulisan skripsi
ini
maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut :
Bab
I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab
II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tentang kajian teori yang
diperlukan di dalam menunjang penelitian dan konsep yang relevan untuk membahas
permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.
Bab
III Metode Penelitian
Pada bab ini berisikan rancangan
penelitian, tempat penelitian, populasi dan sampel, variable penelitian dan
defenisi operasional, instrument penelitian dan pengumpulan data, serta analisa
data.
Bab
IV Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan tentang
deskripsi dan gambaran secara umum atas objek penelitian serta membahas dan
menganalisis data-data yang didapat dari hasil perhitungan dan pengolahan
dengan analisis regresi.
Bab
V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi tentang kesimpulan akhir
dari hasil penelitian dan saran-saran yang dapat dijadikan sebagai bahan
masukan bagi pihak-pihak yang terkait.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Landasan
Teori
a.
Dasar-Dasar
Perpajakan
1.
Pengertian
Pajak
Beberapa
ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi yang berbeda mengenai pajak.
Namun demikian, berbagai definisi tersebut pada dasarnya memiliki tujuan dan
inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami.
Menurut
Soemitro dalam Muljono (2010:1), pengertian pajak adalah sebagai berikut:
Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang- undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Djajadiningrat
dalam Resmi (2008:1) menyatakan bahwa:
Pajak sebagai
suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagaian dari kekayaan kepada Negara
disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan
yang diterapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa balik
dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum.
Sedangkan
definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah sebagai berikut:
Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima unsur yang
melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
1. Pembayaran
pajak harus berdasarkan undang-undang.
2. Pajak
dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
3. Pajak
bersifat dapat dipaksakan.
4. Tidak
ada kontraprestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak.
5. Pajak
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
2.
Fungsi
pajak
Pada dasarnya fungsi pajak sebagai
sumber keuangan negara. Menurut Resmi (2008:3), terdapat dua fungsi pajak yaitu
:
1. Fungsi
Penerimaan (Budgetair)
Pajak
merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan.
2. Fungsi
Mengatur (Regulered)
Pajak
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan- tujuan tertentu di luar bidang
keuangan.
3.
Jenis
Pajak
Suandy
(2008:37) mengemukakan bahwa jenis pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga macam
yaitu menurut sifat, golongan dan lembaga pemungutnya.
1. Menurut
sifatnya
a) Pajak
subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
b) Pajak
objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM)
2. Menurut
golongannya
a) Pajak
langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib
pajakdan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh :
Pajak Penghasilan
b) Pajak
tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
3. Menurut
lembaga pemungutnya
a) Pajak
pusat adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, dimana pelaksanaannya dilakukan
oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Materai.
b) Pajak
daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah, dimana pelaksanaannya dilakukan
oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak daerah dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Pajak
Propinsi
Contoh : Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
2) Pajak
Kabupaten/Kota
Contoh : Pajak Hotel,
Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan.
4.
Asas
Pemungutan Pajak
Terdapat tiga asas
pemungutan pajak (Mardiasmo, 2005:7), yaitu :
1. Asas
domisili (asas tempat tinggal)
Asas
ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan
Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal
dari dalam negeri maupun berasal dari luar negeri.
2. Asas
sumber
Asas
ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
3. Asas
kebanggasaan
Asas
ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara.
5.
Sistem
Pemungutan Pajak
Sistem
pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2005:8) sebagai berikut :
1. Official
Assessment System
Adalah
suatu sistem pemungutan yang member wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya
:
a) Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b) Wajib
pajak bersifat pasif.
c) Utang
pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self
Assessment System
Adalah
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya
:
a) Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
b) Wajib
pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang.
c) Fiskus
tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
4. With
Holding System
Adalah sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk
Ciri
-cirinya :
a) Wewenang
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga (pemberi kerja
dan bendaharawan pemerintah).
6.
Hambatan
Pemungutan Pajak
Hambatan
terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua (Mardiasmo, 2005:9)
yaitu :
1. Perlawanan enggan (pasif) membayar
pajak yang dapat disebabkan antara lain:
a.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b.
Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
c.
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan
aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada
fiskus dengan tujuan menghindari pajak.
Bentuknya
antara lain
a. Tax avoidance yaitu usaha meringankan beban pajak
dengan tidak melanggar undang-undang.
b. Tax evasion yaitu meringankan beban pajak dengan
cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak)
b.
Utang
Pajak
1.
Timbulnya
Utang pajak
Pengertian
utang pajak menurut Pasal 1 angka 8 (UU Penagihan Pajak) adalah sebagai
berikut:
Utang pajak adalah pajak yang masih
harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga denda atau kenaikan
yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Resmi (2008:12)
ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang
pajak) yaitu :
1) Ajaran
Materil
Ajaran
materil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya
undang-undang perpajakan. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan atau
perbuatan yang dapat menimbulkan utang pajak. Ajaran ini konsisten dengan penerapan
self assessment sistem.
2) Ajaran
Formil
Ajaran
formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus
(pemerintah). Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment
sistem.
2.
Berakhirnya
Utang Pajak
Menurut Suandy (2008:128) utang pajak
akan berakhir atau terhapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Pembayaran
Pembayaran
pajak dapat dilakukan Wajib Pajak dengan menggunakan surat setoran pajak atau
dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran pajak dapat dilakukan di Kantor Kas
Negara, Kantor Pos dan Giro atau di Bank Persepsi.
2) Kompensasi
Kompensasi terjadi
apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan
pembayaran pajak dapat dikompensasikan pada masa/tahun pajak berikutnya maupun dikompensasikan dengan pajak lainnya yang
terutang.
3) Daluwarsa
Daluwarsa diartikan
sebagai daluwarsa penagihan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum baik bagi
Wajib Pajak maupun fiskus, maka diberikan batas waktu tertentu untuk penagihan
pajak.
4) Penghapusan utang
Penghapusan utang pajak
dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Wajib
Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang berwenang
5) Pembebasan
Utang pajak tidak
berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan. Pembebasan pajak
biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Misal dalam rangka
meningkatkan penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk
jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak di wilayah-wilayah tertentu.
c.
Penagihan
Pajak
1.
Pengertian
Penagihan Pajak
Sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
tahun 2000, yang dimaksud dengan penagihan pajak adalah sebagai berikut:
Serangkaian
tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
2.
Dasar
Penagihan Pajak
Sesuai
Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perubahan ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, bahwa Surat Ketepatan maupun Surat Keputusan yang menjadi dasar
penagihan pajak seperti berikut ini :
1) Surat
Tagihan Pajak (STP)
Surat
Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
2) Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
3) Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
4) Surat
Keputusan Pembetulan
Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
5) Surat
Keputusan Keberatan
Surat
Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
6) Putusan
Banding
Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan
Surat Tagihan Pajak (SPT) Penerbitan surat ketetapan pajak hanya terbatas pada
Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian surat
pemberitahuan atau karena ditemukan data fiskal yang tidak dilaporkan oleh
Wajib Pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang dihitung dan dilaporkan dalam surat pemberitahuan yang bersangkutan tidak
benar maka Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang
sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Penerbitan surat ketetapan pajak harus diterbitkan berdasarkan nota
penghitungan dengan melalui proses pemeriksaan.
Gambar 2.1
Skema Hukum atas
Penerbitan SKP dan SPT
3.
Tindakan
Penagihan Pajak
Sesuai
dengan sistem perpajakan yang dianut di Indonesia, maka tindakan penagihan pajak dilakukan setelah
adanya pemeriksaan pajak dan setelah
diterbitkannya Surat Ketetapan maupun Surat Keputusan Pajak (STP, SKPKB,
SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak
yang harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan).
Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak SKP, Pembetulan Pasal 16 KUP, Keberatan
Pasal 25/26 KUP, Pasal 36 (1) a KUP
Pasal 36 (1) b KUP Pasal 36 (1) d
KUP Mengajukan Pembatalan Hasil
Pemeriksaan Tidak setuju terhadap pokok pajak tetapi jangka waktu penyampaian
keberatan telah lewat (3 bulan) Mengajukan permohonan pengurangan/penghapu san
sanksi administrasi Gugatan ke
Pengadilan Pajak Peninjauan kembali ke MA Banding ke Pengadilan Pajak Pasal 23
UU KUP Mengajukan keberatan Mengajukan pembetulan
Menurut
Suandy (2008:173) penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1) Penagihan
pajak pasif
Penagihan
pajak pasif dilakukan dengan menggunakan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar.
Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi maka 7 hari setelah jatuh tempo
akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan
menerbitkan surat teguran.
2) Penagihan
pajak aktif
Penagihan
pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya
penagihan ini fiskus lebih berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim STP
atau SKP tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan
pelaksanaan lelang. Pelaksanaan penagihan aktif dijadwalkan berlangsung selama
58 hari yang dimulai dengan penyampaian surat teguran, surat paksa, surat
perintah melaksanakan penyitaan, dan pengumuman lelang.
4.
Tahapan
Dan Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus,
tahapan dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan pajak dapat digambarkan melalui
skema dibawah ini:
Gambar 2.2
Tahapan dan
Jadwal Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak
7 hari 21 hari
Jatuh
tempo 2 x 24 jam
14
Hari 16
hari
Kegiatan
penagihan pajak sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sampai
dengan
pengajuan permintaan penetapan tanggal dan tempat pelelangan
meliputi
jangka waktu 58 hari. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Pejabat
menerbitkan surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis apabila penanggung pajak tidak
melunasi utang pajaknya dalam jangka waktu 7 hari setelah jatuh tempo.
2) Selanjutnya
surat paksa diterbitkan apabila dalam jangka waktu 21 hari setelah surat
teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan namun
penanggung pajak masih juga belum melunasi utang pajaknya. Kewajiban pajak
sebagaimana tertuang dalam surat paksa harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24
jam.
3) Apabila
utang pajak belum dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana tertuang dalam surat
paksa yaitu 2x24 jam, maka pejabat dapat menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
4) Empat
belas hari setelah dilakukan penagihan pajak dengan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan (SPMP), ternyata penanggung pajak belum melunasi utang pajaknya,
pejabat menerbitkan surat perintah tentang pengumuman lelang.
5) Empat
belas hari setelah pengumuman lelang ternyata penanggung pajak masih belum juga
melunasi utang pajaknya, pejabat melakukan penjualan barang sitaan penanggung
pajak melalui Kantor Lelang Negara.
5.
Dasar
Hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Penagihan
pajak di Indonesia harus didasarkan pada hukum yang jelas dan mengikat,
sehingga Wajib Pajak dan pihak yang terkait dapat mematuhinya. undang-undang
dan peraturan serta keputusan-keputusan yang mengatur tentang penagihan pajak dengan surat paksa adalah
sebagai berikut :
1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
2) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
3) Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan dan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika
dan Sekaligus sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/PMK.03/2010.
4) Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa.
6.
Surat
Teguran
Surat
teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis sesuai dengan Pasal 1 angka 10 (UU Penagihan Pajak)
adalah “surat yang diterbitkan oleh pejabat pajak untuk meneguur atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi untang pajaknya”. Sesuai Pasal
5 Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 bahwa tindakan pelaksanaan
penagihan pajak diawali dengan surat teguran, surat peringatan atau surat lain
yang sejenis oleh pejabat atau kuasa pejabat setelah 7 hari sejak saat jatuh
tempo pembayaran. Penerbitan surat teguran, surat peringatan atau surat lain
yang sejenis merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan
pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penerbitan surat
paksa.
Apabila
terdapat Wajib Pajak tidak pernah diberikan surat teguran, surat
peringatan
atau surat lain yang sejenis namun langsung diterbitkan dan diberikan
surat
paksa, maka secara yuridis surat paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak
didahului dengan pengeluaran surat teguran, surat peringatan atau surat lain
yang sejenis.
7.
Surat
Paksa
1)
Pengertian
Surat Paksa
Surat
paksa sesuai Pasal 1 huruf 21 (UU KUP) dan Pasal 1 huruf 12 (UU Penagihan
Pajak) menyatakan bahwa “surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak
dan biaya penagihan pajak”. Surat paksa berkepala kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Agar tercapai efektivitas dan efisiensi
penagihan pajak yang didasari dengan surat paksa, maka surat paksa mempunyai
kekuatan hukum eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian,
surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan
putusan
pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Dalam Pasal 7 ayat 2 (UU
Penagihan Pajak), disebutkan bahwa surat paksa sekurang-kurangnya harus memuat
:
-
Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak
dan penanggung pajak.
-
Dasar penagihan.
-
Besarnya utang pajak.
-
Perintah untuk membayar.
2)
Penerbitan
Surat Paksa
a) Secara
teori surat paksa diterbitkan setelah surat teguran, surat peringatan atau
surat lain yang sejenis dikeluarkan oleh pejabat. Menurut pasal 8 (UU Penagihan
Pajak) menyatakan bahwa surat paksa diterbitkan apabila: Penanggung pajak tidak
melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis.
b) Terhadap
penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus,
atau
c) Penanggung
pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
3)
Pemberitahuan
Surat Paksa
Surat
paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan
salinan surat paksa kepada penanggung pajak. Pemberitahuan surat paksa kepada
penanggung pajak oleh jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi
surat paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai
pernyataan bahwa surat paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan surat
paksa diserahkan kepada penanggung pajak dan surat paksa yang asli diserahkan
disimpan di kantor pejabat.
Pemberitahuan surat paksa dituangkan dalam berita acara yang
sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan surat paksa, nama
jurusita pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan surat paksa.
Berdasarkan
Pasal 10 ayat 3 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap orang pribadi
diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
a) Penanggung
pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan.
b) Orang
dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha
penanggung pajak, apabila penanggung pajak tidak dapat dijumpai.
c) Salah
seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan
belum dibagi.
d) Para
ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi.
Berdasarkan
Pasal 10 ayat 4 (UU Penagihan Pajak), surat paksa terhadap badan diberitahukan
oleh jurusita pajak kepada:
a) Pengurus,
kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di
tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain yang memungkinkan, atau
b) Pegawai
tetap di tempat kedudukan atau di tempat usaha badan yang bersangkutan apabila
jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam
huruf ( a ). Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan
kepada kurator, hakim pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan jika Wajib
Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, maka surat paksa diberitahukan
kepada orang atau badan yang dibebani untuk pemberesan atau likuidasi. Jika
tidak dapat dilaksanakan surat paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat.
Dalam hal Wajib Pajak tidak diketahui
tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian
surat paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan surat paksa pada papan
pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa,
atau cara \lain yang ditetapkan oleh keputusan menteri atau keputusan kepala
daerah.
B.
Penelitian
Terdahulu
Penelitian
mengenai tindakan penagihan pajak dengan surat paksa memang sudah banyak
dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
tindakan penagihan pajak dengan surat paksa yang dikutip dari berbagai sumber
antara lain:
No
|
Peneliti
|
Judul Penelitian
|
Variable
Penelitian
|
Hasil Penelitian
|
1
|
Yanny
Chrisanti (2005)
|
Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pajak dan
Kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Surabaya Rungkut
|
Surat Paksa,
Wajib Pajak Aktif, Pencairan Tunggakan Pajak
|
Jumlah surat
paksa yang diterbitkan dan jumlah wajib pajak aktif, baik secara
parsialmaupun simultan berpengaruh signifikan terhadap pencairan tunggakan
pajak di KPP Surabaya Rungkut. Koefisien determinasi menujukkan 52,3%
pencairan tunggakan pajak dipengaruhi oleh jumlah surat paksa yang
diterbitkan dan jumlah wajib pajak aktif
|
2
|
Dian Victor Pabuaran
(2005)
|
Analisa
Pengaruh Jumlah Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Dengan Surat
Paksa Terhadap Penerimaan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Batu
|
Wajib Pajak,
Pemeriksaan Pajak, Kepatuhan atas Penagihan dengan Surat Paksa, Penerimaan
Pajak
|
Berdasarkan
uji simultan, pemeriksaan dan kepatuhan atas penagihan dengan surat paksa
berpengaruh signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Sementara
berdasarkan uji parsial, pemeriksaan berpengaruh terhadap pencairan tunggakan
pajak tetapi kepatuhan atas penagihan dengan surat paksa tidak berpengaruh
signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Koefisien determinasi
menujukkan 55,6% pencairan tunggakan pajak dipengaruhi oleh pemeriksaan dan
kepatuhan atas penagihan dengan surat paksa.
|
3
|
Mayang Wijoyanto
(2010)
|
Pengaruh
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Mampang Prapatan
|
Surat Paksa,
Kepatuhan Wajib Pajak
|
Penelitian ini
menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa mempunyai hubungan yang
positif serta berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Selain
itu, koefisien determinasi menunjukkan bahwa 41% kepatuhan wajib pajak
dipengaruhi oleh penagihan pajak
dengan surat
paksa.
|
C.
Kerangka
Penelitian
Peran
serta Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat
diharapkan sesuai dengan kerangka sistem self assessment yang dianut dalam
undang-undang perpajakan sejak tahun 1983 yang memberikan kepercayaan penuh
kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan
pajaknya sendiri. Akan tetapi dalam kenyataanya, masih banyak Wajib Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya membayar utang pajak berdasarkan ketetapan pajak yang
telah diterbitkan. Tidak dibayarnya utang pajak maka akan menimbulkan tunggakan
pajak. Untuk menegakkan ketentuan undang-undang pajak yang ada maka dilakukan
tindakan penagihan pajak.
Tindakan
penagihan terhadap utang pajak yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 19
Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum
yang bersifat memaksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya. Tindakan
penagihan pajak berdasarkan urutan proses dan waktu pelaksanaanya dimulai
dengan menerbitkan surat teguran setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo
pembayaran. Selanjutnya diterbitkan surat paksa setelah 21 hari sejak
diterbitkannya surat teguran dan akan diikuti dengan penyitaan apabila
penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam.
Biasanya Wajib Pajak akan segera melunasi utang pajaknya setelah diterbitkan
surat paksa karena jika sampai dilakukan penyitaan maka akan merusak
kredibilitas Wajib Pajak tersebut, sehingga Wajib Pajak akan melunasi tunggakan
pajaknya.
Berdasarkan
uraian penjelasan di atas dapat dituangkan dalam suatu skema kerangka pikir
sebagai berikut :
Gambar 2.2
Kerangka Pikir
D.
Hipotesis
Penelitian
Penagihan
pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 yang telah
diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 mengatur bahwa setelah lewat 7
hari jatuh tempo tunggakan pajak, tetapi Wajib Pajak belum melunasi utang pajak
maka akan diterbitkan surat teguran. Ini bermaksud untuk mengingatkan Wajib Pajak
dalam melaksanakan kewajibannya dan hanya bersifat persuasif karena belum ada
sanksi hukum. Setelah lewat 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, Wajib
Pajak belum juga melunasi utang pajaknya maka langkah selanjutnya yaitu dengan
menerbitkan surat paksa. Surat paksa memiliki kekuatan eksekutorial serta
memberi kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan
perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, surat paksa
langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan.
Tujuan
diterbitkannya surat paksa sebagaimana pengertian yang dicantumkan dalam
undang-undang adalah untuk menagih utang pajak. Setelah diterbitkannya surat
paksa, diharapkan penanggung pajak segera melunasi utang pajaknya. Jika kepada
Wajib Pajak yang telah ditebitkan surat paksa belum juga melunasi utang
pajaknya dalam waktu 2 x 24 jam, maka akan dilakukan penyitaan. Biasanya Wajib
Pajak akan merasa takut, sehingga mereka akan melunasi tunggakan pajaknya baik
secara langsung maupun angsuran yang tentunya akan mempengaruhi pencairan
tunggakan pajak.
Oleh
karena itu, peneliti menduga ada pengaruh antara surat teguran dan surat paksa
yang diterbitkan terhadap pencairan tunggakan pajak. Dugaan ini didasarkan
karena selama ini Direktorat Jenderal Pajak belum mampu membuat masyarakat
patuh akan pajak. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
Ho : Tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara surat teguran dan
surat
paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Makassar
Utara.
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara surat teguran dan surat
paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Makassar
Utara.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan penekanan
pada pengujian teori melalui pengukuran variable-variabel penelitian dengan
angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Peneliti
menggunakan analisis statistik deskriptif untuk menguji dan memberikan gambaran
bagaimana pengaruh surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan
pajak. Analisis statistik deskriptif merupakan statistik yang digunakan untuk
menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah
terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku
untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2010:206).
Pemilihan
jenis penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penelitian ini akan
menguraikan dan menjelaskan data-data yang telah diolah dan dianalisis.
B.
Tempat
Penelitian
Tempat
penelitian dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara yang
beralamat di Jalan Urip sumihardjo KM.4, GKN 1 Makassar. Tempat penelitian
tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa baik data maupun informasi yang dibutuhkan
mudah diperoleh serta relevan dengan pokok permasalahan yang menjadi objek
pokok penelitian.
C.
Populasi
dan Sampel
Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010;115). Populasi
penelitian ini adalah Wajib Pajak yang memiliki tunggakan pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara.
Sampel
merupakan bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang
juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa
mewakili populasi (Hasan, 2002:84). Sampel yang diambil oleh peneliti adalah
Wajib Pajak yang memiliki tunggakan pajak selama 3 tahun terakhir (tahun
2009-2011) pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara.
D.
Variabel
Penelitian dan Definisi Operasional
Sesuai
dengan rumusan masalah, untuk melihat pengaruh penagihan pajak dengan surat
teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak maka variabel
operasional yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan tiga variabel yang
terdiri atas dua variabel independen (bebas) dan satu variabel dependen
(terikat) yaitu:
a. Surat
Teguran (X1)
Surat teguran adalah surat yang
diterbitkan oleh KPP untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk
melunasi utang pajaknya.
Variabel
surat teguran yang diterbitkan dilihat dari banyaknya jumlah surat teguran yang
diterbitkan.
b. Surat
Paksa (X2)
Surat Paksa adalah
surat perintah yang dikeluarkan oleh KPP dan dilakukan oleh juru sita untuk memaksa Wajib
Pajak melunasi utang pajak dalam jangka waktu tertentu. Penagihan pajak dengan
surat paksa, dalam hal ini dilihat dari jumlah surat paksa yang diterbitkan.
c. Pencairan
Tunggakan Pajak (Y)
Pencairan tunggakan
pajak adalah segala bentuk pencairan yang berkaitan dengan tunggakan pajak yang
disetorkan ke kas negara yang dapat berupa pembayaran, penghapusan,
pemindahbukuan, maupun keberatan. Variabel pencairan tunggakan pajak dilihat
dari jumlah pembayaran atas pajak yang terutang yang didasarkan pada STP, SKP,
SKPKB, SKPKBT.
E.
Instrumen
Penelitian dan Pengumpulan Data
Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
langsung dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara berupa laporan
kinerja seksi penagihan, laporan penerimaan pajak, serta data-data lain yang
terkait.
Data-data
yang nantinya akan dianalisis dan ditarik kesimpulan, dikumpulkan dengan
menggunakan teknik tertentu yang disebut teknik pengumpulan data. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi.
Pengumpulan data tersebut diperoleh dari dokumen-dokumen yang merupakan data
olahan dari instansi terkait. Selain itu, data yang digunakan untuk mendukung
hasil penelitian berasal dari literatur, artikel, dan berbagai sumber lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian.
F.
Analisis
Data
Aplikasi
perangkat lunak yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini
adalah Statistical Product and Service Solution (SPSS). Metode-metode yang
digunakan untuk menganalisis data dan menguji hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Uji
Asumsi Klasik
Dalam penggunaan
regresi, terdapat beberapa asumsi dasar yang menghasilkan estimator linear
tidak bias yang terbaik dari model regresi yang diperoleh dari metode kuadrat
terkecil biasa. Dengan terpenuhinya asumsi asumsi tersebut maka hasil yang
diperoleh dapat lebih akurat dan mendekati atau sama dengan kenyataannya.
klasik. Asumsi-asumsi dasar itu dikenal sebagai asumsi klasik yaitu sebagai
berikut :
1. Uji
Normalitas
Uji
normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data pada persamaan regresi yang
dihasilkan berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal. Persamaan
regresi dikatakan baik jika mempunyai data variabel bebas dan variabel terikat
berdistribusi mendekati normal atau normal sama sekali.
2. Uji
Multikolinieritas
Uji
multikolinieritas bertujuan untuk menguji ada tidaknya korelasi yang tinggi
antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linier berganda. Jika
ada korelasi yang tinggi diantara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan
antara variabel bebas terhadap variabel terikatnya menjadi terganggu.
3. Uji
Heteroskedastisitas
Uji
heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan varians dari residual dari observasi yang satu dengan observasi
yang lain. Jika varians tetap maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda
maka terjadi problem heteroskedastisitas.
4. Uji
Autokorelasi
Uji
autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara
kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode
sebelumnya (t-1).
b. Analisis
Regresi Linier Berganda
Menurut Sugiono
(2010:277) bahwa “analisis regresi berganda digunakan untuk meramalkan
bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen, bila dua atau lebih
variabel independen sebagai faktor prediktor dimanipulasi (dinaik turunkan
nilainya)”. Jadi analisis regresi ganda akan dilakukan bila jumlah variabel
independennya minimal dua.
Rumus linier berganda
ditunjukkan oleh persamaan :
Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Dimana :
Y
= Jumlah pencairan tunggakan pajak
a
= Kostanta
b1
= Koefisien surat teguran
b2
= Koefiisen surat paksa
X1
= Surat teguran
X2
= Surat paksa
e
= Faktor Pengganggu
c. Uji
potesis
1. Uji
Parsial ( t-test)
Uji
signifikansi secara parsial atau sering kali disebut uji t bertujuan untuk melihat
pengaruh variabel-variabel independen secara individual terhadap variabel
dependen.
Dasar
pengambilan keputusan :
a. Dengan
membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel Apabila t hitung < t tabel
maka H0 diterima dan H1 ditolak Apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak
dan H1 diterima
b. Dengan
melihat nilai probabilitas singnifikan Apabila nilai probabilitas singnifikan
> 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Apabila nilai
probabilitas singnifikan < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima.
2. Uji
Simultan (F-test)
Uji
signifikansi simultan atau sering kali disebut uji F bertujuan untuk melihat
pengaruh variabel-variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat.
Dasar
pengambilan keputusan :
a. Dengan
membandingkan nilai F hitung dengan F tabel Apabila F hitung < F tabel maka
H0 diterima dan H1 ditolak Apabila F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1
diterima
b. Dengan
melihat nilai probabilitas singnifikan Apabila nilai probabilitas singnifikan
> 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Apabila nilai probabilitas
singnifikan < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima
3. Koefisien
Determinasi (R2)
Koefisien
determinasi merupakan ukuran kesesuaian garis regresi linier berganda terhadap
suatu data (Hasan, 2002:270). Nilai koefisien determinasi adalah antara 0
sampai 1. Semakin mendekati 0 besarnya koefisien determinasi suatu persamaan
regresi, semakin kecil pula pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen. Dengan kata lain semakin kecil kemampuan model regresi yang
dihasilkan dalam menjelaskan perubahan nilai variabel dependen. Sebaliknya,
semakin mendekati 1 besarnya koefisien determinasi suatu persamaan regresi,
semakin besar pula pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Dengan kata lain semakin besar kemampuan model regresi yang dihasilkan dalam menjelaskan
perubahan nilai variabel dependen.
Langganan:
Postingan (Atom)